Selasa, 18 Mei 2010

Semakin malas manusia,, semakin maju perkembangan teknologi

Semakin malas manusia,, semakin maju perkembangan teknologi

Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilahkebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bersi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaanbahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.

Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki atauperempuan. Anak muda laki-laki dikenal sebagai putra dan laki-laki dewasa sebagaipria. Anak muda perempuan dikenal sebagai putri dan perempuan dewasa sebagaiwanita.

Penggolongan lainnya adalah berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua.

Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, berdasarkan ciri-ciri fisik (warna kulit, rambut, mata; bentuk hidung; tinggi badan), afiliasi sosio-politik-agama (penganut agama/kepercayaan XYZ, warga negara XYZ, anggota partai XYZ), hubungan kekerabatan (keluarga: keluarga dekat, keluarga jauh, keluarga tiri, keluarga angkat, keluarga asuh; teman; musuh) dan lain sebagainya.

Hati dan kesadaran

Pengalaman subyektif dari seorang individu berpusat di sekitar kesadarannya,kesadaran-diri atau pikiran, memperbolehkan adanya persepsi eksistensinya sendiri dan dari perjalanan waktu. Kesadaran memberikan naiknya persepsi akankehendak bebas, meskipun beberapa percaya bahwa kehendak bebas sempurna adalah khayalan yang menyesatkan, dibatasi atau dilenyapkan oleh penentuantakdir atau sosial ataubiologis. Hati manusia diperluas ke luar kesadaran, mencakup total aspek mental dan emosional individu. Ilmu pengetahuanpsikologimempelajari hati manusia (psike), khususnya alam bawah sadar (tak sadar). Praktek psikoanalisis yang dirancang oleh Sigmund Freudmencoba menyingkap bagian dari alam bawah sadar. Freud menyusun diri manusia menjadiEgo, Superego, dan Id. Carl Gustav Jungmemperkenalkan pemikiran alam bawah sadar kolektif / bersama dan sebuah proses pengindividuan, menuangkan keragu-raguan untuk ketepatan pendefinisian individu ‘yang dapat diartikan’.

Filsafat dalam Perspektif Sejarah

1. Zaman Abad Pra Yunani Kuno

Berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun SM, disebut juga zaman batu, karena pada masa itu manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Selanjutnya pada abad ke 15 sampai 6 SM, manusia telah menemukan besi, tembaga dan perak untuk berbagai peralatan, yang pertama kali digunakan di Irak. Pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah filsafat, disebut the greek miracle. Beberapa faktor yang mendahului lahirnya filsafat di Yunani, yaitu:

a.Mitologi bangsa Yunani

b. Kesusastraan Yunani

c. Pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu sudah sampai di Timur Kuno.

2. Zaman Abad Yunani Kuno

Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum, karena menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahyul yang irrasional. Selanjutnya, Pada waktu Athena dipimpin oleh Perikles kegiatan politik dan filsafat dapat berkembang dengan baik. Terakhir Zaman Hellenisme, disebut sebagai zaman keemasan kebudayaan Yunani, dengan tokoh yang berjasa adalah Iskandar Agung (356 – 323 SM) dari Macedonia, salah seorang murid Aristoteles.

3. Zaman Abad Pertengahan

Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat.

Saya menarik kesimpulan ini, bahwa zaman abad pertengahan sangatlah berarti bagi para filosof, khususnya bagi pemikir eropa pada abad tersebut, memang dekat sekali dengan suatu ajaran agama khususnya agama Kristen. Karena pada zaman abad pertengahan dan menjadi tokoh utama Bapak gereja yang paling besar dari zaman Patristik ini ialah Aurelius Agustinus (354-430) ia dilahirkan di thagaste, di Numedia, afrika utara. Dan setelah itu berkembang kezaman skolastik ialah Thomas Aquinas (1225-1274).

4. Zaman Abad Modern

Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.

Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.

Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M. Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.

Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.

Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.

Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.

Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.

Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.

Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.

5. Zaman Abad Kontemporer

Filsafat Barat kontemporer (abad XX) sangat heterogen. Hal ini disebabkan antara lain karena profesionalisme yang semakin besar. Banyak filsuf adalah spesialis bidang khusus seperti matematika, fisika, psikologi, sosiologi, atau ekonomi. Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa pada abad XX pemikiran-pemikiran lama dihidupkan kembali. Misalnya, Neotomisme, Neokantianisme, Neopositivisme, dan sebagainya. Di masa ini Prancis, Inggris, dan Jerman tetap merupakan negara-negara yang paling depan dalam filsafat. Umumnya, orang membagikan filsafat pada periode ini menjadi filsafat konttrental (Prancis dan Jerman); dan filsafat Anglosakson (Inggris). Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad XX adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis (filsafat bahasa), strukturalisme, dan postmodernisme.

Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfat secara praktis. Jadi, patokan pragmatisme adalah manfaat bagi kehidupan praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).v

Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis. Tokoh terpenting vitalisme adalah filsuf Prancis, Henri Bergson (1859-1941).v

Fenomenologi berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah aliran yang membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Seorang fenomenolog lainnya adalah Max Scheler (1874-1928).v

Eksistensialismei adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Cara berada manusia di dunia berbeda dengan cara berada makluk-makluk lain. Tokoh-tokoh terpenting eksistensialisme adalah Martin Heidegger (1883-1976), Jean-Paul Sartre (1905-1980), Karl Jaspers (1883-1969), dan Gabriel Marcel (1889-1973). Soren Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900) serta Nicolas Alexandroyitch Berdyaev (1874-1948). Jean-Paul Sartre adalah filsul kontemporer berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas.v

Filsafat analitis muncul di Inggris dan Amerika Serikat sejak sekitar tahun 1950. Filsafat analitis disebut juga filsafat bahasa. Filsafat bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hahekat bahasa, sebab, asal dan hukumnya. Filsafat ini merupakan reaksi terhadap idéalisme, khususnya Neohegelianisme di Inggris.Para penganutnya menyibukkan diri dengan analisa bahasa dan konsep-konsep. Memang ahli filsafat sependapat bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dank arena konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa. Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah Bertrand Rüssel, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.v

Strukturalisme muncul di Prancis tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Tokoh-tokohnya Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucoult.v

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya. Seperti diketahui, modernisme dimulai oleh Rene Descartes, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Auflclaerung), dan kemudian mengabadikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Tokoh yang dianggap memperkenalkan istilah postmodern (isme) adalah Francois Lyotard, lewat bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Modernisme mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata melahirkan berbagai dampak buruk, yakni Pertama, obyektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena yang mengakibatkan krisis ekologi.

Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan- lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Pada akhirnya dia dikatakan telah menghilang.

.

Begitulah, setidaknya, menurut satu teori, yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyemba h banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi (kadang- kadan g disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka mengungkapka n kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi mereka dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak pernah tampil dalam penggambaran.

.

Warga suku itu mengatakan bahwa dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia. Sebagian orang bahkan mengatakan dia telah “pergi”. Para antropolog berasumsi bahwa Tuhan ini telah menjadi begitu jauh dan mulia sehingga dia sebenarnya telah digantikan oleh ruh yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Begitu pula, menurut teori Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Pada mulanya, dengan demikian, hanya ada satu Tuhan. Jika demi- kian, monoteisme merupakan salah satu ide tertua yang dikembang- kan manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan. Ini juga menunjukkan beberapa masalah yang mungkin akan dihadapi oleh ketuhanan semacam itu.

.

Adalah mustahil untuk membuktikan hal ini dengan cara apa pun. Telah banyak teori tentang asal usul agama. Namun, tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti. Ide-ide ini diam-diam sirna, seperti ide tentang Tuhan Langit, tanpa menimbulkan banyak kegaduhan . Dalam era kita sekarang ini, banyak orang akan mengatakan bahwa Tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam telah menjadi sejauh Tuhan Langit. Sebagian lainnya bahkan dengan terang-terangan mengklaim bahwa Tuhan telah mati. Yang jelas dia tampak telah sirna dari kehidupan semakin banyak orang, terutama di Eropa Barat. Mereka berbicara tentang suatu “lubang yang pernah diisi oleh Tuhan” dalam kesadaran mereka karena, meski tampak tak relevan bagi sekelompok orang, dia telah memainkan peran krusial dalam sejarah kita dan merupakan salah satu gagasan terbesar umat manusia sepanjang masa. Untuk memahami apa yang telah hilang dari kita itu—jika memang dia telah hilang—kita perlu melihat apa yang dilakukan manusia ketika mereka mulai menyembah Tuhan ini, apa maknanya, dan bagaimana dia dipahami.

.

Untuk melakukan itu, kita perlu menelusuri kembali dunia kuno Timur Tengah, tempat gagasan tentang Tuhan kita secara perlahan tumbuh sekitar 14.000 tahun silam. Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang “spiritual” atau “suci” seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia. Di Kepulauan Laut Selatan, mereka menyebut kekuatan misterius ini sebagai mana; yang lain mengalaminya sebagai sebuah kehadiran atau ruh; kadang-kadang ia dirasakan sebagai sebuah kekuatan impersonal, seperti layaknya sebentuk radioaktivitas atau tenaga listrik. Kekuatan ini diyakini bersemayam dalam diri kepala suku, pepohonan, bebatuan, atau hewan-hewan. Orang Latin mengalami numina (ruh-ruh) dalam semak yang dianggap suci; orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Secara alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekadar me- ngaguminya. Ketika orang mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.

.

Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917, percaya bahwa rasa tentang gaib ini (numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia mengins- pirasikan kegirangan liar dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam. Kisaji-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Paleolitik, misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus Dewi Ibu mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya adalah sakral. Para seniman memahat patung-patung yang melukiskannya sebagai seorang perempuan hamil telanjang yang banyak ditemukan oleh para arkeolog tersebar di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan India. Dewi Ibu itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad. Seperti Tuhan Langit yang lama, dia kemudian masuk ke dalam kuil-kuil yang lama dan menempati posisi sejajar dengan dewa-dewa lain yang lebih tua. Dia dahulunya merupakan salah satu dewa terkuat, jelas lebih kuat daripada Dewa Langit, yang terus menjadi sosok yang remang-remang. Dia disebut Inana di Sumeria kuno, Isytar di Babilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. Kisah yang benar-benar mirip terdapat di semua kebudayaan ini untuk mengekspresikan peranannya di dalam kehidupa n spiritual manusia. Mitos-mitos ini tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk meng- gambarkan sebuah realitas yang terlalu rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan mem- bangkitkan emosi tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.

.

Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Kehidupan duniawi amat rentan dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan dewa-dewa maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahw a dewa-dew a itu telah memperlihatkan kepad a manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah sekadar sebuah ideal yang ke arah itu manusia harus menuju, tetapi merupakan prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi model kehidupan kita di sini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayan antik dan terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era kita sekarang ini. Di Iran kuno, misalnya, setiap orang atau objek di dunia jasadi (getik) diyakini mempunyai padanan- nya di dunia arketipal realitas suci (menok). Ini adalah perspektif yang sulit untu k kita apresiasi di dunia modern , karena kita memandang autonomi dan kebebasan sebagai nilai kemanusiaan yang tinggi. Namun demikian, ungkapan terkenal post coitum omne animal tristist est tetap mengungkapkan pengalaman yang sama: setelah suatu momen yang menegangkan dan dinanti-nanti dengan penuh harap, kita sering merasa kehilangan sesuatu yang lebih besar, namun senantiasa luput dari jangkauan- kita. Meniru tuhan masih menjadi ajaran agama yang penting: beristirahat pada hari Sabbath atau mencuci kaki pada hari Kamis Maundy—perbuatan-perbuatan yang tidak bermakna dalam dirinya sendiri—kini menjadi signifikan dan sakral karena orang-orang percaya bahwa perbuatan semacam itu pernah dikerjakan oleh Tuhan.

.

Spiritualitas yang serupa telah menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berada di wilayah pemerintahan Irak kini, telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu kebudayaan oikumene (dunia berperadaban) terbesar pertama. Di kota-kota Ur, Erech, dan Kish, orang Sumeria mencipta aksara cunei• form mereka, membangun menara-kuil hebat yang disebut ziggurat, dan mengembangkan hukum, sastra, dan mitologi yang mengesan- kan. Tak lama berselang, kawasan itu diinvasi oleh orang Akkadian Semitik, yang kemudian mengadopsi bahasa dan peradaban Sumeria. Lalu, masih sekitar 2000 SM, orang Amorit menaklukkan peradaban Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibu kota mereka. Akhirnya, sekitar 500 tahun kemudian, orang Asyur bermukim di Asyur yang tak jauh dari situ lalu menguasai Babilonia pada abad kedelapan SM. Tradisi Babilonia ini juga mempengaruhi mitologi dan agama Kanaan, yang akan menjadi Tanah yang Dijanjikan bagi orang Israel kuno. Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang Babilonia menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah mewahyukan gaya hidup mereka sendiri kepad a nene k moyan g mitikal masyarakat Babilonia. Denga n demikian, Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap candi- nya adalah replika kerajaan langit. Keterkaitan dengan alam suci ini dirayakan setiap tahun dalam Festival Tahun Baru yang meriah, yang telah secara kukuh dikembangkan pada abad ketujuh SM. Dirayakan di kota suci Babilonia selama bulan Nisan—atau April— Festival itu secara khidmat memahkotai raja dan menahbiska n kekuasaannya untuk tahun berikutnya.

.

Namun, stabilitas politik ini hanya bisa bertahan selama ia berpartisipasi di dalam pemerintahan dewa-dewa yang lebih abadi dan efektif, yang telah mengenyahkan kekacauan primordial ketika dunia pertama kali diciptakan. Dengan demikian, Festival sebelas hari suci itu mengantarkan para partisipan dari zaman yang profan ke alam para dewa yang sakral dan abadi melalui tindakan ritual. Seekor domba disembelih untuk meninggalkan tahun yang lama; penghinaan publik terhadap raja dan pemahkotaan raja yang zalim sebagai pengganti membangkitkan kembali kekacauan asal; pemberontakan menghidupkan kembali pertarungan dewa-dewa melawan kekuatan perusak.

.

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan simbolik memiliki nilai sakramental; tindakan itu membuat orang Babilonia mampu meneng- gelamkan diri ke dalam kekuatan suci atau mana yang menjadi tempat bergantung peradaban besar mereka. Kebudayaan dirasakan sebagai sebuah pencapaian yang rentan, yang selalu bisa menjadi korban kekuatan yang mengacaukan dan memecah belah. Pada senja hari keempat Festival itu, para pendeta dan penyanyi paduan suara memenuhi bait suci untuk menyenandungkan Enuma Elish, puisi epik yang merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan. Kisah ini bukanlah peristiwa faktual tentang asal usul fisik kehidupan di bumi, melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk meng- ungkap sebuah misteri besar dan membebaskan kekuatan sucinya. Pengisahan harfiah tentang penciptaan adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tak ter- bayangkan itu terjadi: mitos dan simbol dengan demikian merupakan satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spiritualitas yang melahirkan konsep kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Meskipun kisah biblikal dan Qurani tentang penciptaan akan mengambil bentuk yang sama sekali berbeda, mitos-mitos aneh ini tidak pernah benar-benar hilang, tetapi akan kembali masuk ke dalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dikemas dalam sebuah idiom monoteistik.

.

Kisah dimulai dengan penciptaan dewa-dewa itu sendiri, sebuah tema yang—sebagaimana akan kita saksikan nanti—menjadi begitu penting dalam mistisisme Yahudi dan Muslim. Pada mulanya, seperti dituturkan dalam Enuma Elish, dewa-dewa muncul berpasangan dari sebuah substansi berair yang tidak berbentuk—sebuah substansi yang denga n sendirinya suci. Dalam mitos Babilonia—seperti yang kemudian tercantum dalam Alkitab—tak ada penciptaan yang bermula dari ketiadaan, itu sebuah gagasan yang asing bagi dunia kuno. Sebelum dewa-dewa maupun manusia ada, bahan mentah yang suci ini telah ada secara abadi. Ketika orang Babilonia mencoba mem- bayangkan zat primordial suci ini, mereka berpikir ia pasti mirip dengan tanah berpaya di Mesopotamia, yang tak henti-hentinya terancam banjir yang akan menyapu habis karya-karya manusia yang lemah. Oleh karena itu, dalam Enuma Elish, kekacauan {chaos) bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas.

1 komentar: